The Best Fluffy Pancakes recipe you will fall in love with. Full of tips and tricks to help you make the best pancakes.
“Jendela yang ini juga ditutup,” Fani beralih ke pintu dan mencongkel-congkel dengan kukunya.
“Pintunya menyebalkan, kadang bisa dibuka tapi seringnya susah!” sungut Fani.
Ia lalu meloncat ke jendela kaca di samping pintu, berdiri menopangkan kaki depannya ke jendela. Ekornya bergerak ke kanan dan ke kiri. Ia memandang ke luar jendela dengan antusias.
“Padahal aku ingin sekali main di atap…,” keluhnya sambil berbaring di depan pintu.
Beberapa lama kemudian langkah-langkah yang berat menghampiri pintu.
“Ayah, bukain pintu! Bukain!” Fani mengeong agak keras.
Ayah dengan sigap menangkap Fani, membuka pintu, mengatakan sesuatu dengan lembut pada Fani dan memasukkan Fani ke kandang di teras. Lalu ia pergi keluar.
“Ayah, aku juga mau main di luar!” Fani memukul-mukul jeruji kandang.
***
“Aku masih ingin main di atap. Apalagi sudah sore, sebentar lagi malam dan mungkin akan banyak serangga di atap.” Fani meringkuk di samping kulkas. Karena bosan dan agak sebal ia mengisi waktunya dengan membersihkan bulu-bulunya.
Lidahnya menyapu bulunya yang panjang di perut. Ia duduk dengan pose yang akan sangat sulit jika Ayah yang perutnya agak gendut melakukannya.
Tiba-tiba ia memandang penuh harap. Nenek keluar dari kamar. Fani tidak begitu menyukai Nenek karena Nenek juga tidak begitu menyukainya. Tapi Fani tidak galak pada Nenek karena tahu Nenek adalah orangtuanya Ayah dan Ibu. Meski Fani tidak tahu pasti Nenek itu ibunya Ayah atau ibunya Ibu.
“Apa Nenek akan membuka pintu?” harap Fani. Nenek orangnya kurang waspada dan Fani suka hal itu, yang membuatnya seringkali bisa lolos keluar.
Fani mengikuti di belakang Nenek. Tiba-tiba ia mengeong pelan dengan ceria. Nenek kepalanya ditutup kain, biasanya kalau begitu Nenek akan keluar rumah!
Fani bersiap. Begitu Nenek membuka pintu ia berlari melalui celah sempit yang terbuka. Ia mendengar Nenek mengatakan sesuatu tapi tak mempedulikannya.
***
Fani ingin sekali berlari kencang dan cepat bermain di atap. Tapi dunia luar begitu banyak menawarkan kesenangan.
Ia awalnya berlari kecil, lalu berhenti dan menggosokkan pipinya ke serumpun bunga di tepi jalan. Ia berjalan pelan, menengok ke kanan dan ke kiri.
“Senangnyaaaa.” Fani mengeong.
Ia berbelok menyusuri jalan di tepi sungai kecil. Fani sebetulnya tidak suka menjadi basah dan takut pada sungai. Tapi tanggul yang cukup tinggi di tepi sungai membuatnya tenang.
“Fani. Fani, sini.”
Ayah memanggil! Fani menengok, “Ayah jangan ikut!”
Tapi Ayah malah mendekat dengan langkah cepat. Wah, Fani tidak mau ditangkap!
Fani berlari kecil, sesekali meloncat jika tahu Ayah hampir menyusul. Ia tidak mau ditangkap Ayah tapi tidak mau berlari kencang. Fani tahu Ayah sayang padanya. Kalau saja yang mengejarnya orang jahat atau kucing besar seram yang galak, tentu sudah dari tadi Fani lari secepat angin.
Fani menyeberang jembatan kecil. Hampir sampai! Tinggal menyeberang jalan lalu sampai di rumah-rumah yang atapnya menyenangkan.
Saking senangnya Fani sempat lupa kalau Ayah sedang mengejarnya. Begitu menengok ia kaget sekali, Ayah sudah sangat dekat.
Fani segera meloncat dan berlari ke sebuah pohon. Hup, ia meloncat ke pohon itu. Satu loncatan, satu loncatan lagi, lalu ia meloncat ke atap rumah.
Ia menoleh saat Ayah memanggil. “Ayah pulang saja,” Fani mengeong.
“Fani, turun, turun yuk.”
“Ayah, aku main dulu ya!” Fani memanjat ke atap yang lebih tinggi dan hilang dari pandangan Ayah.
***
“Fani. Fani.”
Fani yang berbaring bangkit berdiri. Ia tahu itu suara Ayah yang memanggil.
“Fani, pulang yuk,” bujuk Ayah.
“Ayah, atapnya seru sekali!” Fani mengeong-ngeong.
Tadi malam Fani mengejar-ngejar cicak dan beberapa serangga. Ia berpindah-pindah dari satu atap ke atap lain, cukup mudah karena rumah yang menempel satu sama lain. Bahkan ia hampir berkelahi dengan seekor kucing belang abu-abu yang lancang masuk ke daerah bermainnya. Untunglah kucing itu tidak berani saat Fani menantangnya.
Ayah masih membujuk beberapa lama. Fani memandanginya. Ia suka pada Ayah, yang tak pernah menyakitinya dan suka mengajaknya bermain.
Pluk. Segumpal sesuatu yang merah kecoklatan jatuh di atap. Lalu, pluk, segumpal lagi. Wah, ternyata Ayah melempar wet food!
Fani segera memakannya. Ia memang lapar tapi yakin masih bisa menahannya sampai puas bermain di atap. Untung saja Ayah baik membawakannya makanan, jadi ia bisa bermain tanpa kelaparan.
“Fani, cepat pulang ya. Jangan makan minum sembarangan. Jangan berantem.” Ayah memandangi kucing kesayangannya sejenak lalu berjalan pulang.
Saat Ayah sudah diseberang sungai, Fani mengeong, “Ayah aku pulangnya nanti ya, mau main dulu. Pintunya jangan ditutup aku nanti mau langsung makan!”